#2 Dokter Gigi

Helloo and sorry before, karena saya jarang mengurus si Vermill ini. Ya saya sedang menduakan dia dengan mengurus si Skripsi ( Ngeles yang klise ). But anyway tagging #My30firstmoment tetap terus berjalan, saya berniat untuk tidak absen pada challenge kali ini. Kalau di posting sebelumnya, saya bercerita tentang pengalaman pertama saya melihat dunia , pada posting kali ini saya akan bercerita singkat tentang  pengalaman pertama saya pergi ke Dokter Gigi. So cari posisi yang nyaman senyaman friendzone ditempat duduk masing-masing.

Pengalaman pertama saya pergi ke Dokter Gigi itu, kalau nggak salah waktu saya berusia kurang lebih 5 tahun. Pada usia-usia itu trend gigi susu tanggal  sedang naik daun dikalangan bocah-bocah, tak terkecuali saya. Berawal ketika saya dan orang tua saya menemukan kejanggalan pada 2 gigi seri bawah saya. Ternyata 2 gigi seri generasi ke dua saya sudah tumbuh lebih dulu sebelum si gigi seri generasi pertama a.k.a gigi susu itu tanggal. Nah jika si seri #2 ini dibiarkan tumbuh maka akan terjadi namanya peristiwa gingsul, tapi bukan gingsul yang manis namun gingsul yang berantakan. Si Papa yang nggak mau anaknya memiliki gingsul berantakan  memberikan solusi untuk membawa saya ke Dokter Gigi. Waktu mendengar keputusan itu pikiran buruk sudah ada di dalam pikiran saya, karena image Dokter Gigi di pikiran bocah adalah sesuatu yang mengerikan belum terpikir dokter gigi ganteng seperti iklan pasta gigi di TV.  Tetapi setelah di jelaskan sama si Papa dan diiming-imingi es krim campina rasa durian, maka jadilah saya pergi ke dokter gigi for the first time . ( Oh betapa ceteknya saya saat itu terbujuk karena iming-iming es krim duren 😦 ).

Setibanya di Dokter Gigi saya disambut dengan peralatan dokter gigi yang cukup membuat saya ngeri terutama kursinya yang tinggi itu. Dokter gigi yang menangani saya  kebetulan adalah salah satu relasi si Mama jadi sebelum melakukan tindakan lanjutan, si Dokter berbincang-bincang sejenak dengan si Mama.

Then…. it’s show time.

Si Dokter menyuruh saya untuk duduk di dental chair dan serasa terhipnotis saya menuruti kemauan dokter demi 1 cup es krim durian. Instruksi berikutnya adalah saya di minta untuk membuka mulut saya dan si Dokter mulai memeriksa calon gingsul saya. Si Dokter pun mengatakan jika ternyata 2 gigi seri bawah saya harus di cabut secara paksa, karena  2 gigi tetap saya sudah terlanjur tumbuh dan kalau dibiarkan akan mengganggu struktur gigi bawah. Oke, bu dokter jika harus demikian keputusannya saya menerimanya dengan mulut terbuka dan 1 cup es krim durian. Kemudian si Dokter mulai mengoleskan sesuatu di gigi saya, rasanya seperti rasa strawberry tapi aneh. Si Dokter menjelaskan jika itu adalah umpan buat penjaga gigi supaya ketika dicabut lebih mudah dan tidak sakit. Saya manggut-manggut polos mendengarkan penjelasan dari Dokter, dalam hati saya meminta dioleskan lagi umpannya karena rasanya enak. Tiba-tiba ketika saya sedang terlena dengan rasa strawberry di mulut,

“AAAAAAaaaaaaakkkk…… “

Saya menjerit sekuat tenaga karena kesakitan. Iya kesakitan karena 2 gigi saya di cabut sekaligus ketika saya belum siap dan si Dokter yang berbohong dengan umpan penjaga gigi rasa strawberry itu. Sebenarnya sakitnya tidak seberapa tapi terkejutnya itu yang membuat rasa sakit itu lebih terasa, bayangkan 2 gigi sekaligus dalam satu tarikan. 😥

Umpan rasa strawberry itu kini tak berasa strawberry lagi tapi berganti rasa asin yang jauh dari kata enak . Si Dokter menginstruksi saya untuk berkumur dan saya melakukannya, ketika saya membuang air kumur di wastafel, saya menangis bukan karena kesakitan tapi karena liat air yang keluar bercampur dengan darah. Saya ngeri melihatnya tapi kemudian si Papa dan Dokter dengan kompak meyakinkan saya jika darahnya akan berhenti jika di beri es krim, saya tersenyum kemudian ( lagi-lagi sejak kecil mudah terbujuk 😦 ) Si dokter kemudian memberikan kapas yang sudah diberi sedikit obat ke TKP dicabutnya 2 gigi seri saya. Rasanya geli, dingin, dan entahlah susah dibayangkan karena memang tidak bisa dibayangkan. Sebelum pulang si Dokter berpesan supaya saya merawat dua gigi saya yang segera tumbuh ini. Oke bu Dokter tapi setelah saya mendapatkan 1 cup es krim durian saya.

Singkatnya setelah pulang dari Dokter Gigi, Si Papa mampir ke sebuah toko untuk memenuhi janjinya membelikan 1 cup es cream Campina rasa Durian. Jangan dibayangkan ini 1 cup besar es krim, tidak ini 1 cup kecil, saudara-saudara sekalian. 1 cup kecil es krim durian ini bisa membujuk saya untuk ke dokter gigi, membuka mulut untuk Dokter Gigi dan menghentikan tangis saya karena melihat darah. Bisa digambarkan perasaan saya saat menerima es krim itu adalah bahagia sekali karena  sebagai bocah 5 tahun saya merasa berhasil melewati tantangan walaupun dengan iming-iming es krim. 😀

***

Keesokan harinya saat saya hendak berangkat ke sekolah, TK lebih tepatnya saya melihat ada yang asing di mulut ketika sedang berkaca. Saya seperti melihat bagian diri saya hilang dan ada perasaan hampa menyelimuti mulut saya. Saya kemudian menyadari pada moment tanggalnya gigi susu ini ( apalagi 2 gigi dan tepat di depan ) adalah masa-masa krisis kepercayaan diri saya sebagai seorang bocah umur 5 tahun diuji. Bagaimana tidak, setiap bertemu orang dan teman-teman di sekolah kata ” Ciyeee Ompong” dan “predikat malas gosok gigi” akan menjadi makanan sehari-hari. Apalagi saat harus tersenyum semacam ada celah diantara deretan gigi saya yang membuat saya terlihat konyol. Saya menyadari kebahagiaan 1 cup kecil es krim rasa durian hanya sesaat tidak bisa membantu menutupi tawa-tawa orang sekitar yang melihat diri saya. Saat-saat seperti ini yang saya butuhkan bukan 1 cup es krim durian lagi, tetapi adalah kesabaran dan kepedean tingkat tinggi menghadapi dunia sembari menunggu si gigi generasi kedua tumbuh sempurna mengisi kekosongan ini.

Well ini cerita saya tentang dokter gigi pertama saya. Semoga terhibur readers. 😀

Leave a comment